DOWNLOAD DISINI
DOWNLOAD DISINI
Kamis, 05 Juli 2012
Minggu, 01 Juli 2012
Marsinah, potret seorang pahlawan buruh
Marsinah, potret seorang pahlawan buruh
Marsinah (lahir 10 April 1969 – meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24 tahun) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian
ditemukan
terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya
ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan,, Nganjuk, dengan
tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua
orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah,
Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen
Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya),
menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah
asal Desa Nglundo, Sukomoro, Nganjuk, bukanlah buruh yang aktif di
serikat pekerja. Kondisi yang serba terbatas membuatnya harus mencari
kerja sampingan. Di kontrakannya di daerah Siring, Porong, Sidoarjo,
Marsinah terkadang menerima order menjahit. Kadang juga berjualan untuk
menutup kebutuhan. Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada
tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh
Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
Latar Belakang Kasus
Awal
tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No.
50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan
kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20%
gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh
karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran
perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera
Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah.
Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4
Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250!
Kondisi
perburuhan yang kurang memenuhi rasa keadilan tidak hanya terjadi di
era reformasi ini. Di era rezim Orde Baru, upah tidak layak dan
terbelenggunya mereka akibat serikat pekerja bentukan pemerintah,
menjadi jurang ketidakadilan ketika itu. Hal yang wajar pemogokan kerap
terjadi. Dan tentara selalu ikut campur tangan menghadapi pemogokan
buruh, termasuk di PT Citra Putra Surya, perusahaan arloji di Sidoarjo,
Jawa Timur, tempat Marsinah bekerja.
Kondisi itu tidak menyurutkan buruh PT CPS untuk menuntut hak, pada 3 dan 4 Mei 1993. Upah minimum regional (UMR) yang mereka terima jauh dari upah minimum yang telah ditentukan. Mereka hanya mendapatkan Rp 1.700 per hari, sementara upah minimum yang seharusnya diberikan perusahaan Rp 2.250. "Tuntutan kami berikutnya adalah bubarkan SPSI, tapi Depnaker langsung berdiri dan menyatakan, ‘ini ciri-ciri dari PKI’. Alasannya, SPSI itu bentukan pemerintah dan legal. Kalau melawan langsung dinyatakan PKI. Kami sangat ketakutan kalau di cap sampai sejauh itu," kata Klowor, pemimpin aksi ketika itu, pada peringatan malam kebudayaan “Marsinah Menggugat” di pelataran kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Akibat
desakan para buruh, manajemen PT CPS pun menyatakan akan memenuhi
tuntutan buruh, meski belum secara tertulis. Tiba-tiba pada 5 Mei
beberapa buruh yang ikut pemogokan dipanggil untuk rapat dengan
perusahaan dengan disaksikan Depnaker, di sebuah tempat yang mungkin
tidak masuk akal. Karena tidak masuk akal itulah yang membuat Marsinah
secara spontan mendatangi tempat perundingan ulang tersebut: Markas
Komando Distrik Militer Sidoarjo.
Marsinah merasa terkejut. Mengapa harus ada perundingan ulang di Kodim Sidoarjo? Dia juga terkejut terkait alotnya perundingan dan ancaman PHK terhadap temannya. Padahal, sebelumnya perusahaan menyepakati akan mengabulkan tuntutan buruh.
Sendirian, tanpa teman, Marsinah mendatangi Makodim Sidoarjo. Usai pulang kerja shift pertama, sekitar magrib, dia datang dengan ojek. Sejak itulah Marsinah lenyap. Dan masyarakat dikagetkan setelah ditemukan mayat perempuan pada 9 Mei 1993. Melalui sebuah robekan resi wesel diketahui mayat itu Marsinah. Buruh pabrik arloji itu menemui kematian ketika berusaha menanyakan keberadaan temannya. Seorang buruh yang menuntut kekurangan Rp 550 dari upah minimum regional, sesuai surat edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 50 Tahun 1992.
Sebelum
diketemukan mayatnya tanggal 9 Mei 2002 di Dusun Jegong Kec. Wilangan
Nganjuk, Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera
Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa tersebut. Keterlibatan
Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain; terlibat dalam
rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di
Tanggul Angin Sidoarjo, Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang
perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Sampai
dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya
dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Namun mulai
tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya
sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 2002.
Penemuan
mayat Marsinah, telah menimbulkan tanda tanya besar apakah kematiannya
terkait dengan unjuk rasa di PT. CPS atau sekedar pembunuhan biasa.
Oleh karenanya, pada tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim
Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah
Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel
Brawijaya.
Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Dalam persidangan sampai dengan tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa"
Keterlibatan pihak Kodim Sidoarjo dalam penanganan unjuk rasa di PT. CPS dirasakan telah melampau wewenang sebagai aparat teritorial sehingga menyulut berkembangnya berbagai issue yang langsung ataupun tidak langsung telah menimbulkan sorotan masyarakat bahwa "ada keterkaitan aparat teritorial dam kasus pembunuhan Marsinah".
Kasus Pembunuhan Marsinah sampai saat ini belum pernah tuntas penyelidikannya, pelakunya masih bebas berkeliaran menghirup udara segar tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hukuman terhadap pelakunya memang tidak mungkin menghidupkan kembali Marsinah, tetapi dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hukum.
Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Dalam persidangan sampai dengan tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa"
Keterlibatan pihak Kodim Sidoarjo dalam penanganan unjuk rasa di PT. CPS dirasakan telah melampau wewenang sebagai aparat teritorial sehingga menyulut berkembangnya berbagai issue yang langsung ataupun tidak langsung telah menimbulkan sorotan masyarakat bahwa "ada keterkaitan aparat teritorial dam kasus pembunuhan Marsinah".
Kasus Pembunuhan Marsinah sampai saat ini belum pernah tuntas penyelidikannya, pelakunya masih bebas berkeliaran menghirup udara segar tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hukuman terhadap pelakunya memang tidak mungkin menghidupkan kembali Marsinah, tetapi dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hukum.
Pengadilan “sesat” berlangsung di Pengadilan Negeri Sidoarjo, karena yang terungkap di pengadilan adalah Marsinah tewas karena diperkosa. Secara forensik tidak ditemukan sama sekali bukti yang menunjukkan adanya kerusakan yang mengarah pada pemerkosaan. Namun, skenario “yang maha berkuasa” ketika itu mengatakan Marsinah diperkosa. "Ada orang yang direkayasa untuk melakukan pembunuhan terhadap Marsinah," kata Hari Widodo, mantan koordinator Tim Pencari Fakta Kasus Marsinah, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Sementara
fakta forensik dari RSUD Nganjuk menyatakan tidak ada tanda-tanda
Marsinah diperkosa. Tulang panggul hancur total yang tidak disebabkan
benda keras. Ketika persidangan kasus Mutiari, Direktur Personalia PT
CPS, dimulai di Pengadilan Negeri Sidoarjo, jasad Marsinah kembali
diangkat dan diautopsi untuk kedua kalinya. Hasilnya, ditemukan tulang
panggul dan leher hancur. "Fakta semacam ini tidak pernah diungkap di
pengadilan. Kita bisa mengambil kesimpulan sendiri. Bagaimana mungkin
tubuh manusia yang tidak ditemukan luka, tapi hancur di bagian
dalamnya? Kita bisa simpulkan bagaimana Marsinah dibunuh," ujar Hari.
Pengadilan
tingkat pertama, 7 orang manajemen PT CPS dinyatakan bersalah. Di
tingkat banding keputusan diperkuat dan di tingkat kasasi dinyatakan
tidak bersalah. Dengan selesainya pengadilan ini, kasus pembunuhan
Marsinah tetap menjadi gelap. "Yang jelas, Marsinah tidak pernah
diperkosa. Tapi, Marsinah dibunuh dengan menggunakan alibi pemerkosaan.
Dan itu secara sadar, digunakan oleh pembunuhnya," kata Hari.
Bukti
dan saksi menunjukkan ada perundingan di Markas Kodim V Brawijaya
Sidoarjo. Keterkaitannya dengan tentara kelihatan dari awal. Karena hal
ini pula, desakan penuntasan kasus ini terus membesar ketika itu.
"Kasus ini tidak hanya menjadi urusan di tingkat lokal, karena ketika
masa rezim Soeharto peran badan intelijen ABRI sangat menentukan. Ini
skenario sampai mereka bisa merekayasa pengadilan, tidak hanya menjadi
urusan Jawa Timur, tapi juga menjadi urusan Jakarta pada saat itu,"
kata Heri.
Sejak
era presiden Soeharto, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati
Soekarnoputri, kematian Marsinah coba diangkat lagi ke permukaan, tapi
kejelasan itu tetap nihil. Hukum di negeri yang demokratis ini seakan
juga terkubur dengan jasad Marsinah. Skenario besar untuk membunuh
Marsinah masih tertutup rapat. Hilangnya para petinggi PT CPS selama
satu bulan sebelum ditemukan di Polda Jawa Timur juga belum terungkap
dengan pasti. Fenomena hukum dan keadilan yang nyaris terhukum.Sistem
hukum yang selalu menempatkan keadilan buruh pada strata terendah.
semoga bermanfaat :)
dari berbagai sumber
Syafrudin Prawiranegara, Presiden yang Terlupakan
Sebagai penjabat presiden,umumnya orang Indonesia hanya mengenal Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putrie dan Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal masih ada dua lagi presiden Indonesia dan jarang sekali disebut. Yakni Syafrudin Prawiranegara dan Mr. Asaat.
Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten, 28 Februari 1911. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.
Di masa kecilnya akrab dengan panggilan “Kuding”, dalam tubuh Syafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.
Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi — “Ingin menjadi orang besar,” katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia).
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di SumatraKetika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”.
Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr TM Hasan menyetujui usul itu “demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara”.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki “penyelamat Republik”. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu “ketua”, namun kedudukannya sama dengan presiden.
Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Syafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.
PRRI
Akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan juga pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat, pada awal tahun 1958, Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya mendirikan PRRI yang berbasis di sumatera tengah dan ia di tunjuk sebagai Presidennya.
Dakwah
Setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Syafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta.
“Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah,” ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.
Di tengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Syafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di makamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan.
1 Abad Syafrudin Prawiranegara
Jakarta-Puncak acara satu abad Sjafruddin Prawiranegara dipilih tanggal 28 Februari 2011, bertepatan tanggal kelahirannya, di Kantor Pusat Bank Indonesia (BI) di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) meluncurkan buku biografi Mr Sjafruddin Prawiranegara, Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).
Panitia menyelenggarakan serangkaian acara satu abad Sjafruddin Prawiranegara melalui seminar-seminar bertema sosok dan kiprah Sjafruddin, utamanya selaku Presiden/Ketua PDRI, dibantu wakilnya Teuku Mohammad Hasan. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) turut memfasilitasi acara pengakuan jasa Sjafruddin sebagai Menteri Kemakmuran RI yang membentuk “Pemerintahan Republik Darurat” di Sumatera.
Menurut Ketua Panitia, Andi Mapetahang Fatwa atau AM Fatwa, serangkaian acara bermaksud menghimpun sejarah sosok dan kiprah Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) yang tidak tercatat. “Ada serpihan sejarah yang tidak tercatat, apalagi ia belum menjadi pahlawan nasional,” kata Fatwa, juga anggota DPD asal DKI Jakarta, di Kompleks Parlemen (MPR/DPR/DPD), Senayan, Jakarta, Sabtu (26/2).
Fatwa menjelaskan, rencananya puncak acara dihadiri Wakil Presiden Boediono menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tengah melawat ke Brunei Darussalam. Setelah pengantar acara, Ketua Panitia meluncurkan buku biografi Sjafruddin diikuti sambutan Gubernur BI, pembacaan pidato Presiden, puisi oleh Taufiq Ismail, serta hiburan biola Idris Sardi dan lagu-lagu Bimbo.
Setelah puncak acara, panitia menyelenggarakan seminar sosok dan kiprah Sjafruddin di Gedung DPD di Jakarta, seminar pemikiran ekonomi Sjafruddin di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) di Semarang yang rencananya dihadiri mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim, seminar napak tilas perjuangan Sjafruddin di Padang Aro (Solok Selatan), serta seminar-seminar PDRI di Padang (Sumatera Barat) dan Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam).
Fatwa juga mengatakan, peringatan satu abad Sjafruddin Prawiranegara bertujuan agar rakyat Indonesia, utamanya kaum muda yang relatif tidak begitu mengenal sosok dan kiprahnya, menjadi lebih mengenal Sjafruddin sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan. “Kami mengajak seluruh rakyat Indonesia agar berdamai dengan sejarah,” ujarnya, apalagi Pemerintah telah menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara.
Sampai saat ini Mr. Presiden kita belum juga mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, hal ini membuat kita terutama generasi muda berdosa jika tidak menghargai jasa-jasa beliau yang sangat penting berkenaan dengan penyelamatan Republik ini dari kekosongan kekuasaan.
Sumber :
wikipedia.com
voa-islam.com
jakartapress.com
Langganan:
Postingan (Atom)